DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) Indonesia kembali menjadi sorotan setelah diketahui bahwa gaji dan tunjangan anggota DPR mencapai lebih dari Rp100 juta per bulan. Angka ini menimbulkan pro dan kontra, terutama karena kondisi ekonomi masyarakat yang sedang sulit. Pengamat dan aktivis menilai kebijakan ini tidak layak, mengingat banyak warga masih kesulitan memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari.

Kondisi Ekonomi yang Menyulitkan Masyarakat

Pada saat ini, masyarakat Indonesia menghadapi berbagai tantangan ekonomi, seperti kenaikan harga bahan pokok, pajak yang meningkat, dan tingkat pengangguran yang naik. Harga beras, misalnya, telah melonjak hingga mencapai Rp16.088 per kilogram. Selain itu, ada kenaikan pajak bumi dan bangunan (PBB) yang membuat beban masyarakat semakin berat.
Egi Primayogha, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), menyoroti bahwa gaji dan tunjangan anggota DPR yang sangat besar justru bertentangan dengan kebutuhan dasar masyarakat. “Kami merasa ini tidak patut di tengah situasi sulit,” ujar Egi kepada BBC News Indonesia.
Struktur Gaji dan Tunjangan Anggota DPR

Gaji pokok anggota DPR periode 2024-2029 ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2000. Berdasarkan jabatan, besaran gaji pokok antara lain:
- Ketua DPR: Rp5.040.000 per bulan
- Wakil Ketua DPR: Rp4.620.000 per bulan
- Anggota DPR: Rp4.200.000 per bulan
Namun, selain gaji pokok, anggota DPR juga menerima berbagai jenis tunjangan. Misalnya, tunjangan rumah sebesar Rp50 juta per bulan, tunjangan istri/suami sebesar Rp420.000, tunjangan anak sebesar Rp168.000, serta tunjangan beras sebesar Rp30.090 per jiwa.
Penolakan Terhadap Tunjangan Rumah
Tunjangan rumah sebesar Rp50 juta per bulan untuk anggota DPR mendapat kritik keras dari berbagai pihak. Alasan utamanya adalah bahwa tunjangan ini dinilai berlebihan dan tidak sesuai dengan kinerja DPR yang sering kali dianggap kurang optimal.
Menurut Egi, nominal Rp50 juta per bulan untuk sewa rumah jauh lebih besar dibandingkan biaya hidup rata-rata masyarakat. Ia menilai bahwa kebijakan ini hanya akan memperparah ketimpangan sosial.
Kinerja DPR yang Dianggap Kurang Memuaskan

Selain masalah gaji, kinerja DPR juga menjadi sorotan. Banyak RUU (Rancangan Undang-Undang) yang dibahas oleh DPR dianggap tidak melibatkan partisipasi publik secara maksimal. Contohnya, RUU Pilkada yang sempat memicu unjuk rasa besar-besaran karena minimnya partisipasi masyarakat.
Lucius Karus, peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), menyebut bahwa tunjangan yang diterima oleh anggota DPR justru berbanding terbalik dengan kinerja mereka. “Ini ironis, karena banyaknya subsidi yang diterima justru tidak diimbangi dengan hasil kerja yang memadai,” katanya.
Penjelasan dari DPR

Sekretaris Jenderal DPR, Indra Iskandar, menjelaskan bahwa kebijakan tunjangan rumah diberlakukan sebagai pengganti fasilitas rumah dinas yang kini sudah tidak lagi tersedia. Namun, ia mengakui bahwa banyak rumah dinas yang rusak dan butuh renovasi.
Ia menegaskan bahwa besaran tunjangan rumah didasarkan pada pedoman dari Kementerian Keuangan dan bukan sebagai kompensasi tambahan. Meski demikian, kritik tetap muncul dari berbagai pihak.
Tanggapan dari Anggota DPR

Beberapa anggota DPR menyatakan bahwa gaji dan tunjangan mereka tidak naik, hanya saja ada penyesuaian pada beberapa komponen. Wakil Ketua DPR RI Adies Kadir mengatakan bahwa gaji pokok anggota DPR tetap sekitar Rp7 juta per bulan, sementara tunjangan seperti beras dan transportasi mengalami kenaikan.
Meski begitu, adanya tunjangan rumah sebesar Rp50 juta per bulan tetap menjadi isu yang memicu kontroversi. Beberapa anggota menolak berkomentar lebih lanjut dan melempar pertanyaan kepada pimpinan DPR.
