Perjalanan Kemerdekaan di Balik Setir
Di tengah riuhnya perayaan kemerdekaan yang sering dikaitkan dengan upacara bendera, lomba, atau pawai obor, ada banyak orang yang merasakan makna kemerdekaan dalam cara yang berbeda. Bagi para pengemudi kendaraan, kemerdekaan tidak selalu terlihat dari bendera berkibar, tetapi lebih pada kehidupan sehari-hari yang stabil dan aman.
Di Terminal Blok M, Muhadjir (47), seorang sopir TransJakarta, sedang beristirahat sejenak sebelum bus yang ia kemudikan kembali berjalan. Seragam putihnya tampak sedikit basah akibat rintik hujan siang itu. Ia sudah bekerja sebagai sopir selama 12 tahun dan merasa bahwa kemerdekaan bagi dirinya adalah bisa bekerja dengan gaji tetap.
“Buat saya, merdeka itu bisa kerja dengan gaji tetap,” katanya sambil tersenyum.
Meski pekerjaannya relatif stabil, Muhadjir merasa bahwa kemerdekaan yang ia rasakan masih setengah hati. Jalanan yang macet dan aturan lalu lintas yang belum sepenuhnya ditaati membuatnya merasa kemerdekaan belum sepenuhnya tercapai.
“Gimana ya, jalanan masih macet jadi belum merdeka. Apalagi masih banyak yang nekat masuk jalur busway, padahal itu buat bus. Kita harus sabar, nggak bisa marah-marah, tapi ya kadang bikin kesel juga,” ujarnya sambil tertawa miris.
Pada momen HUT ke-80 kemerdekaan Indonesia ini, Muhadjir memiliki harapan sederhana: ketertiban di jalan meningkat, aturan lebih tegas, dan transportasi umum makin dihargai. “Kalau semua tertib, kerjaan jadi lebih lancar, penumpang senang, dan saya pulang kerja nggak bawa pusing. Itu baru rasanya merdeka beneran,” tambahnya dengan senyuman tipis.
Tidak jauh dari tempat Muhadjir, di bangku pinggiran jalan yang basah oleh gerimis, Rafli (36) memeriksa ponselnya, menunggu notifikasi orderan masuk. Jaket hijau ojek online yang dikenakannya mulai memudar warnanya, tanda setia menemani pekerjaannya selama lima tahun terakhir.
“Buat saya, merdeka itu ya ketika banyak orderan, dan bisa bawa pulang uang yang cukup tanpa harus narik dari pagi sampai malam,” ujarnya.
Bagi Rafli, kemerdekaan yang ideal bukan hanya soal jumlah penumpang, tetapi juga perlindungan bagi para pekerja lapangan seperti dirinya. “Minimal ada jaminan kesehatan atau asuransi kecelakaan. Kalau ada apa-apa di jalan, kita nggak tanggung dan bingung sendirian. Jadi kalau negara bisa mikirin itu, rasanya kita bener-bener dilihat,” katanya.
Menjelang perayaan kemerdekaan tahun ini, Rafli berharap pemerintah lebih memperhatikan sektor informal yang jumlahnya besar dan berperan penting dalam perputaran ekonomi. “Harapan saya, di usia 80 tahun kemerdekaan, negara bisa bikin kita lebih aman di jalan, nggak cuma soal lalu lintas, tapi juga keamanan finansial. Biar kita kerja nggak was-was,” tambahnya.
Bagi Muhadjir, Rafli, dan banyak pengemudi lain, kemerdekaan bukan sekadar bendera berkibar atau pesta rakyat. Ia adalah tentang rasa aman di jalan, pendapatan yang cukup, dan perlindungan saat risiko datang tanpa diduga, hal-hal yang masih mereka perjuangkan setiap hari di bawah langit Jakarta yang tak selalu cerah.
