Pramono Anung Wibowo, Gubernur Jakarta, menyampaikan kekhawatirannya terhadap fenomena tawuran yang sering muncul di media sosial. Menurutnya, beberapa kasus tawuran sengaja dibuat untuk konten dan disebarluaskan agar viral. Hal ini didasarkan pada laporan dari Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) yang menemukan adanya pihak-pihak tertentu yang memanfaatkan tawuran sebagai bahan konten.
“Persoalan tawuran ini masih sering terjadi. Kami menduga ada beberapa tawuran yang sengaja dibuat untuk konten dan dibagikan di media sosial,” ujar Pramono dalam pernyataannya.
Ia menekankan bahwa tawuran yang viral di media sosial bisa berdampak buruk bagi masyarakat. Oleh karena itu, ia meminta Satpol PP dan aparat penegak hukum untuk segera mengidentifikasi dan menindak siapa pun yang terlibat dalam membuat konten tersebut.
“Kami meminta Satpol PP dan aparat hukum untuk mencari pihak-pihak yang terlibat dalam pembuatan konten tawuran. Mereka harus diambil tindakan sesuai aturan yang berlaku,” kata Pramono.
Dari sudut pandang psikolog, Vera Itabiliana Hadiwidjojo, psikolog klinis anak dan remaja dari Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia (UI), menjelaskan peran media sosial dalam menarik minat remaja. Media sosial menjadi alat yang dapat memenuhi kebutuhan mereka akan sensasi, pengakuan, serta kesan berani dan keren.
“Remaja cenderung ingin dianggap berani dan menjadi pusat perhatian. Media sosial memberi ruang bagi mereka untuk mengekspresikan diri dan mendapatkan perhatian banyak orang,” jelas Vera.
Menurutnya, ada dua faktor utama yang mendorong remaja melakukan tawuran: internal dan eksternal. Faktor internal melibatkan perkembangan otak yang belum optimal, sehingga mereka sulit mempertimbangkan konsekuensi jangka panjang. Selain itu, emosi mereka lebih mendominasi dalam pengambilan keputusan.
“Remaja juga ingin merasa diterima oleh kelompok. Jika mereka merasa menjadi bagian dari suatu kelompok, maka mereka cenderung mengikuti nilai-nilai kelompok tersebut, termasuk jika nilai tersebut bersifat kekerasan,” tambah Vera.
Sementara itu, faktor eksternal meliputi lingkungan dan tradisi. Sekolah yang dekat dengan lingkungan berisiko seperti pasar, terminal, atau tempat tongkrongan geng dapat memicu tawuran. Selain itu, kurangnya pengamanan dan tidak adanya wadah yang dapat menyalurkan energi remaja juga menjadi penyebab.
Vera menyarankan perlunya intervensi dari berbagai pihak, seperti keluarga, sekolah, dan pemerintah, untuk membantu remaja menemukan cara yang lebih positif dalam mengekspresikan diri dan menghindari tawuran.
