
Dana Bantuan untuk Gaza: Kontroversi yang Mengemuka
Gaza Humanitarian Foundation (GHF), sebuah lembaga yang bertugas mendistribusikan bantuan kemanusiaan dengan dukungan dari Amerika Serikat dan Israel, baru-baru ini menerima dana sebesar 30 juta dolar AS atau sekitar Rp484 miliar. Dana ini diperoleh dari pemerintahan Donald Trump dan ditujukan untuk penyaluran makanan di Jalur Gaza, yang saat ini tengah mengalami krisis kemanusiaan yang parah. Namun, langkah ini tidak luput dari kritik tajam dari berbagai pihak, termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan organisasi kemanusiaan internasional.
Kritikan Terhadap GHF
Banyak organisasi dan pengamat menilai bahwa kehadiran GHF di lapangan berpotensi memperburuk situasi yang ada. Mereka khawatir bahwa GHF dapat menggantikan sistem distribusi bantuan yang lebih netral dan adil. Beberapa pihak menyebutkan bahwa pendanaan yang diberikan dapat mengubah dinamika di lapangan, justru menambah kesulitan bagi warga yang membutuhkan.
Seorang pejabat tinggi AS yang tidak disebutkan namanya mengungkapkan bahwa keputusan untuk memberikan dana tersebut melalui Badan Pembangunan Internasional AS (USAID). Meskipun lembaga ini sedang dalam proses penggabungan ke dalam Departemen Luar Negeri, GHF tetap mengajukan proposal pendanaan awalnya dan mendapatkan persetujuan.
Klaim Penyaluran Bantuan
GHF mengklaim telah menyalurkan sekitar 44 juta porsi makanan kepada warga Palestina yang terdampak serangan militer Israel yang berlangsung sejak 7 Oktober 2023. Namun, pelaksanaan pendistribusian bantuan ini tidak berjalan mulus. Sejak GHF membuka titik distribusi di Gaza, insiden penembakan terhadap pencari bantuan kerap terjadi. Pada salah satu insiden, dilaporkan 19 orang tewas dan 50 lainnya terluka akibat tembakan yang diluncurkan oleh pasukan Israel terhadap warga yang berusaha mendapatkan bantuan.
Respon Terhadap Insiden Kekerasan
GHF menanggapi kritikan ini dengan membantah bahwa kekerasan terjadi di sekitar lokasi mereka, menyebut tuduhan yang ada sebagai tidak berdasar. Namun, PBB dan organisasi seperti Oxfam mengecam keputusan AS untuk mendanai GHF. Mereka berpendapat bahwa pendekatan ini mencederai prinsip netralitas dalam operasi kemanusiaan. Oxfam bahkan menyebut bantuan ini sebagai “gangguan multimiliar dolar” yang justru mengaburkan akar masalah yang ada di Gaza dan berisiko fatal bagi para penerima manfaat.
Tuduhan Pencurian Bantuan
Sementara itu, Israel dan AS menuduh kelompok perlawanan Palestina, Hamas, melakukan pencurian terhadap bantuan yang dikelola oleh PBB. Namun, badan-badan kemanusiaan internasional membantah tuduhan ini, menegaskan bahwa tidak ada bukti signifikan yang menunjukkan bahwa Hamas terlibat dalam pencurian bantuan. Hal ini menambah kompleksitas situasi kemanusiaan di Gaza, di mana kepercayaan antara berbagai pihak semakin menipis.
Pola Baru dalam Distribusi Bantuan
Kondisi kemanusiaan di Gaza semakin memburuk akibat serangan yang terus berlanjut dan blokade yang diterapkan oleh Israel. Lebih dari dua juta penduduk terancam kelaparan akut. Meskipun Israel mengklaim telah melonggarkan blokade bantuan, organisasi seperti Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB (OCHA) menyatakan bahwa pasokan makanan yang masuk masih sangat terbatas.
GHF merupakan bagian dari tren baru dalam sistem distribusi bantuan kemanusiaan, yang secara signifikan mengandalkan kontraktor swasta, termasuk mantan personel intelijen dan militer AS. Pendekatan ini menimbulkan kekhawatiran karena dianggap menjauh dari prinsip netralitas dan kemanusiaan yang dijunjung tinggi oleh organisasi internasional.
Penutup
Sampai saat ini, juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Tammy Bruce, belum memberikan pernyataan resmi mengenai pendanaan GHF. Dengan situasi yang semakin kompleks, tantangan untuk memberikan bantuan kemanusiaan yang efektif dan netral di Gaza tetap menjadi fokus perhatian dunia internasional.